Adat istiadat Masyarakat Pulau Sumba NTT
Kali ini kita akan berkunjung ke sumba sebab di sana sangat unik teman- teman.Salah satu yang unik adalah budaya untuk Kematian dan pemakaman menurut adat Sumba berkaitan dengan kebiasaan menurut aliran kepercayaan Marapu.
1. Saat Wafat.
Bila seorang Bangsawan wafat, tidak diperkenankan untuk menangis dan belum boleh memberitahu keluarga lain. Jika wafat di rumah sakit, maka almarhum dibawa ke kampungnya untuk diadakan acara Memanggil. Salah satu orang tua harus melakukan pemanggilan dengan menyebutkan nama orang yang wafat sebanyak empat kali. Jika tidak menjawab, maka dikatakan sudah wafat.
Ungkapan wafat bagi orang Sumba adalah jika yang wafat seorang bangsawan perempuan, dikatakan " Namberanyaka mbalu, Nanjorunyaka Au " artinya tempayan airnya pecah, balai-balai dapurnya roboh. Jika yang wafat seorang bangsawan laki-laki maka dikatakan " Na Njorunyaka Njara, Na mbatanyaka Landu " artinya Jatuh dari Kuda, patah jambul di kepalanya.
2. Pa Hadangu artinya "Membangunkan"
Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang wafat sudah kembali ke negeri leluhur, karena itu Jenazahnya harus disimpan dengan cara duduk, menyerupai keadaan semula ketika masih dalam kandungan.
Membangunkan berarti membuat rohnya berada kembali di dalam tubuh atau jenazah sehingga dapat diberi sirih pinang dan makanan. Pada hari itu dipotong seekor kuda sebagai Dangangu ( kurban ).
Gong mulai dibunyikan pada siang dan malam sebagai tanda berduka. Bunyi dan irama Gong pad upacara kematian berbeda dengan bunyi dan irama Gong pada saat pesta atau keramaian. Pada upacara kematian disebut Pa Hengingu dan Patambungu, sedangkan pada upacara pesta disebut Pahandakilungu dan Kabokangu. Arti dari bunyi dan irama Gong ada beberapa macam tapi dalam penafsiran mengandung kalimat-kalimat tanya jawab sebagai berikut : Ka Nggikimunya Dumu? Artinya Kau mengapakan dia? Dan dijawab Ba Meti Mana Duna artinya dia mati sendiri.
3. Membuat Kuburan.
Kuburan asli orang sumba (Na Kahali Manda Mbata, Na Uma Manda Mabu) artinya balai-balai yang tidak akan patah, rumah yang tidak akan lapuk = negeri yang baka. Terdiri dari lubang bulat, setelah jenazah diturunkan, ditutup lebih dahulu dengan batu bulat kecil disebut Ana Daluna lalu ditutup dengan batu yang lebih besar. Sesudah itu dilindungi dengan batu besar yang ditopang oleh empat batang batu sebagai kakinya. Kuburan seperti itu namanya " Reti Ma Pawiti ". Biasanya hanya untuk Bangsawan karena biayanya mahal. Rakyat biasa, kuburannya cukup ditutup dengan batu besar saja.
4. Dundangu (Mengundang).
Tergantung pada musyawarah keluarga inti, apakah pemakaman dilakukan dalam waktu dekat atau waktu yang lama (dua sampai enam bulan, atau tahunan bahkan puluhan tahun).
Kalau masih lama dikuburkan, maka jenazah disimpan di salah satu kamar dalam rumah (Puhi La Kurungu) atau dikuburkan sementara dengan belum diupacarakan (Dengi Tera). Jika demikian, keluarga-keluarga yang jauh maupun dekat harus diberitahu dengan mengutus " Wunang = Delegasi " hanya untuk pemeberitahuan bahwa yang bersangkutan sudah mati. (Supaya keluarga yang jauh jangan menyangka bahwa yang bersangkutan masih sehat saja).
Mendekati waktu penguburan, diadakan musyawarah untuk :
A. Menentukan Waktu Penguburan.
B. Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat kehadiran dalam musyawarah itu.
C. Penentuan jumlah dan siapa saja keluarga yang akan diundang.
Wunang atau delegasi yang mengundang, biasanya berjumlah dua orang. Sebelum mereka berangkat, dilengkapi dengan tata cara penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara adat, yang disebut " Kawuku ".
5. Lodu Taningu.
Keluarga yang jauh biasanya sudah datang pada hari sebelum pemakaman, tetapi pada umumnya datang pada hari pemakaman. Urutan upacara pemakaman, sebagai berikut :
A. Papanapangu (Penyambutan).
Para tamu disambut dengan tata cara adat Sumba Timur dengan membunyikan Gong dan Tambur, pelayanan pertama adalah pemberian sirih - pinang. Dimana para penjaga jenazah harus menangis dengan memperkeras suaranya. Masing-masing kelompok undangan menyampaikan pernyataan tibanya melalui juru bicara (wunang), sambil menyerahkan pembawaannya.
B. Pangandi (Pembawaan)
Pihak La Yea (anak mantu) membawa satu Mamuli Emas, satu utas Lulu Amahu dan dua ekor kuda yang cukup umur, sedangkan pihak Yera (paman) membawa dua lembar "tenun ikat".
C. Padudurungu (meratap/menangis).
Semua perempuan dari tiap rombongan naik ke atas untuk menangis di keliling jenazah atau peti mati, bertanda turut berduka. Selesai menangis, bagian rombongan dipindahkan ke tempat yang sudah ditentukan untuk mengikuti upacar selanjutnya.
D. Pawondungu (makan untuk persiapan bagi jenazah sehingga kuat)
Diadakan ritual Marapu dengan memotong seekor anaak kerbau, lalu diambil hatinya untuk dimasak dan diberikan sebagai makan persiapan bagi jenazah.
E. Papapurungu (menurunkan jenazah menuju tempat penguburan).
Pada waktu jenazah dibawa turun ke pendopo depan, Gong dan Tambur dibunyikan dengan irama cepat sebagai tanda bahwa penguburan akan segera dilaksanakan. Sementara jenazah diusung ke kubur, diadakan pemotongan seekor kuda besar sebagai kurban.
F. Taningu (menguburkan)
Jenazah dimasukkan ke dalam lubang kubur kemudian ditutup dengan batu pipih kecil lalu ditutup dengan batu besar. Di keempat sudut dipasang batang batu yang tegak untuk menopang batu yang besar. Sementara itu dipotong lagi beberapa ekor kuda atau kerbau.
G. Pahewa (berpisah).
Selesai pemakaman, seorang Wunang (juru bicara) dari keluarga akan naik diatas kubur atau tempat yang lebih tinggi untuk berbicara menyampaikan isi hati keluarga dan beberapa pengumuman. Kata-katanya demikian "masih banyak yang yang harus kita bicarakan, masih ada yang perlu dituntaskan. Oleh karena itu, diminta untuk kembali lagi ke tempat duduk semula".
H. Tuangu Kameti (menjamu tamu).
Keluarga-keluarga inti dari jenazah akan menerima tamu, masing-masih satu "Kawuku" (kepala keluarga atau kepala rombongan) bahkan ada yang menerima tamu lebih dari satu Kawuku. Masing-masing penerima tamu akan memotong satu sampai dua ekor babi atau sapi untuk makan bersama.
6. Warungu Handuka (berhenti berkabung).
Beberapa hari kemudian, semua keluarga dekat dan tetangga diundang untuk bersama-sama mengikuti penutupan "masa berkabung" (warungu handuka). Dalam acara ini, dipotong babi atau sapi untuk makan bersama. Keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas kebersamaan dan gotong royong dalam urusan penguburan dan di dalam menerima keluarga yang datang menghadiri upacara penguburan. Ucapan terima kasih ini ditandai dengan membagikan sisa-sisa pembawaan kepada jenazah berupa mamuli (lempeng emas), lulu amahu dan kuda. Barang-barang yang dibagikan disebut "rihi yubuhu" dan "rihi dangangu".
7. Palundungu (Penyelesaian).
Upacara ini merupakan yang terakhir, dimana "arwah" jenazah dihantar ke alam barsyah (negeri dewa atau khayangan). Dalam acara ini, arwah jenazah berangkat bersama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu. Arwah ini akan datang lagi kalau diundang (melalui sembahyang atau Hamayangu) dalam pesta negeri yang disebut "Langu Paraingu".
Adat-Istiadat tidak akan habis, bersifat dinamis sehingga selalu berkembang dari waktu ke waktu. Namun sifat-sifat fundamen harus diketahui sehingga yang sifatnya luhur dan menjadi jati diri bangsa dapat dipertahankan dan yang merugikan diganti atau dihilangkan.
Comments
Post a Comment