Adat istiadat orang alor NTT
Salah satu keunikan budaya lokal di Alor adalah Moko yang mirip dengan gendang perunggu dan dijadikan sebagai alat pembayaran belis (mas kawin) dalam tradisi adat perkawinan setempat. Fungsi tersebut sama seperti gading gajah di kabupaten Flores Timur dan Sikka di Pulau Flores.
Keistimewaan Alor dalam hal budaya material adalah begitu banyaknya nekara perunggu Moko. Para ahli arkeologi dan sejaral meyakini teknologi perunggu bermula di Dongson Vietnam bagian utara Kemudian menyebar ke berbagai daerah di Asia Tenggara.
Namun hasil studi banding menyebutkan Moko di Alor hanyak yang dibuat di Pulau Jawa. Hanya saja tak diketahui secara pasti sejak kapan Moko mulai dikenal oleh masyarakat Kabupaten Alor yang kemudian berfungsi sebagai alat pembayaran belis dalam tradisi setempat.
Sebuah pertanyaan yang selalu menggoda para wisatawan asing dan peneliti ilmiah, apakah Moko di Alor itu berasal dari kebudayaan Dongson yang hidup dan berkembang di belahan utara Vietnam sekitar 350 tahun sebelum Masehi ataukah dari Jawa pada masa Kerajaan Majapahit?
Sumber-sumber kepustakaan ilmiah hanya menyebutkan Moko Alor sangat mirip dengan gendang perunggu suatu peninggalan kebudayaan Dongson. Bagi masyarakat Alor, Moko adalah benda suci yang `dikeramatkan dalam mengikat tali perkawinan karena merupakan alat pembayaran belis seorang laki-laki kepada calon isterinya yang kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam klannya.
Moko secara magic religius dan sekaligus tradisional turun temurun digunakan juga sebagai genderang pengiring tarian adat masyarakat setempat. Dengan bunyi Moko yang ditabuh, maka semua anggota dapat merasakan satu kesatuan jiwa dan gerak tubuh para penari. Itulah sebabnya, walaupun Moko hanya terbuat dari perunggu atau kuningan tapi nilainya sangat tinggi bagi masyarakat Alor. Oleh karenanya Alor yang terletak di ujung utara Pulau Timor, kerap disebut-sebut negeri "Seribu Moko".
Moko di Alor ada beragam bentuk. Namun pada dasarnya lonjong seperti gendang kecil dan ada pula yang berbentuk gendang besar. Pola hiasnyapun bermacam-macam tergantung pada jaman pembuatannya dan sangat mirip dengan benda-benda perunggu di Jawa pada jaman Majapahit.
Yang lebih paham soal nilai sebuah Moko adalah para bangsawan dan kepala adat karena merekalah yang paling banyak memilikinya dibanding orang kebanyakan. Selain mereka, hampir pasti tidak ada peninggalan terinci yang menunjukkan jejak pra sejarah tentang Moko disana.
Karena itu perlu sebuah pembuktian ilmiah secara mendalam bahwa di Alor pernah berkembang teknologi kebudayaan perunggu. Kalau kehadiran Moko itu merupakan hasil impor di waktu lampau, mengapa hanya terbatas di Pulau Alor dan Pulau Pantar tetangganya itu?
Berdasarkan pola hias maka jaman kehadiran Moko dapat digolongkan atas pola pra sejarah, Indonesia (Hindu), Belanda, Inggris, dan pola kreasi baru. Meskipun demikian dari keempat bentuk berdasarkan jaman pembuatan itu, Moko pra sejarah mempunyai nilai jauh lebih mahal ketimbang pola lainnya.
Moko jaman pra sejarah mempunyai ragam hias berbentuk relief atau pahatan timbal pada bidang pukul bintang bersudut delapan, diselingi dengan pita lengkung atau garis putus mengelilingi seluruh bidang pukul. Pola hias lain berbentuk manusia dan burung seperti tipe Heger I yang disederhanakan. Suatu penemuan baru terhadap Moko yang lehih besar di mana bidang pukul permukaannya mempunyai garis tengah satu meter dan tinggi satu meter.
Untuk memperoleh Moko sebanyak-banyaknya juga telah diatur oleh lemhaga adat dalam suatu pola perkawinan. Moko hanya beredar dan keluar pada saat peristiwa adat perkawinan dilaksanakan. Sebuah perkawinan dinyatakan sah menurut adat apabila memenuhi persyaratan membayar belis dengan Moko.
Pembayaran belis dengan Moko merupakan simbol tempat pengganti tenaga kerja dan kedudukan anak gadis yang dibawa suaminya dan Gong sebagai lambang tempat duduk ibunya pada waktu melahirkan. Ukuran besar kecilnya Moko dan tahun pembuatannya serta pola hias ikut menentukan tinggi rendahnya harga sehuah Moko.
Menurut penuturan, harga pasaran Moko di Alor bervariasi. Harganya paling mahal di atas Rp 1 juta. Namun para pemilik Moko mengatakan bahwa Moko tak bisa diukur dengan uang berapapun jumlahnya karena Moko mempunyai kedudukan dan nilai tersendiri dalam relasi sosial masyarakat Alor.
Dalam tradisi di Kabupaten Alor dikenal empat macam perkawinan. Pertama, perkawinan dengan membayar belis tunai. Masa pinangan kepada calon isteri bisa saja dilakukan pada waktu masih bayi, atau pada masa kanak-kanak, dan masa ketika sudah dewasa. Jika pinangan itu diterima orang tua dan keluarga sang gadis, maka disusul dengan pemberian Moko pertama sebagai tanda ikatan pertunangan.
Pemberian Moko pertama ini juga sebagai tanda larangan bagi para taruna lain atau keluarga lain yang bermaksud meminang gadis yang sudah dipinang. Selain Moko, diberikan sarung, selimut, sepasang anting-anting, cincin kuningan untuk jari kaki, gelang kuningan untuk pergelangan kaki dan tangan.
Kalau peminangan pada waktu anak gadis itu masih kecil maka ia segera diserahkan kepada keluarga calon suaminya. Hal dimaksudkan agar tidak terjadi "kawin lari" kalau sang gadis sudah dewasa, juga diharapkan ia dapat menyesuaikan diri dengan anggota keluarga calon suaminya.
Penyerahan calon menantu kepada calon mertua ini dilakukan setelah belis dan syarat lainnya dibayar lunas. Setelah tiga hari kemudian berada di rumah calon mertua baru diadakan pesta adat gallar yaitu sebuah upacara doa dipimpin oleh kepala adat dan ditujukan kepada Hul (bulan), Wan (matahari), Mo (bumi) Gunnag (langit), Ari Latala (Kuasa Allah) supaya kedua mempelai saling mengasihi dan diberkati dalam membangun rumah tangga baru.
Bentuk perkawinan yang kedua adalah dengan pembayaran belis diutang. Prosesnya sama seperti bentuk perkawinan pertama, tapi suaminya harus tetap tinggal di tengah keluarga isterinya sebelum belis dibayar lunas. Selama masa itu keluarga suami tetap dianggap berhutang belis. '
Menurut adat tradisi setempat hutang belis akan bebas kalau salah seorang di antaranya telah meninggal. Sedangkan bentuk perkawinan yang ketiga adalah perkawinan "bertukar" (gayel golal). Perkawinan model ini tidak diperbolehkan, mencari suami atau isteri dari satu suku (klan) tapi harus dengan sistem 'bertukar' dari sedikitnya empat keluarga besar (klan).
Keempat klan itu saling memberikan anak-anak gadis dan menerima calon suami. Misalnya klan A, B, C, dan D mengadakan perjanjian perkawinan bertukar. Klan A akan mencari suami dari klan B, sebaliknya klan B tidak boleh mencari suami dari klan A, tapi harus mencari dari klan C, demikian klan C harus mencari dari keluarga klan D, dan klan D harus dari klan A.
Demikian jalannya perkawinan anak laki-laki dan gadisnya harus searah. Model perkawinan ini dapat terjadi antara anak saudara laki-laki dengan anak gadis saudara perempuan. Bentuk lain yang juga termasuk pada macam perkawinan 'bertukar' ini, suatu pertukaran calon suami atau isteri secara timbal balik.
Bentuk perkawinan yang keempat ialah "lari bersama" atau yang lebih dikenal dengan istilah gere uma. Pola perkawinan ini terjadi kalau calon suami melarikan calon isterinya ke rumah orang tuanya. Atau kedua-duanya melarikan diri ke rumah kepala suku untuk kemudian kawin (berbiring). Jika ini terjadi maka kepala suku akan memanggil kedua pihak orang tua untuk menyelesaikan diprose perkawinan ini menurut adat yang berlaku.
Comments
Post a Comment