Tempat Wisata NTT di Ruteng Yang Menarik dan sangat mempesona
Tempat Wisata NTT di Ruteng Yang Menarik,Ruteng adalah ibukota dari manggarai timur dikenal sebagai salah satu kabupaten di Pulau Flores yang paling berkembang. Ruteng merupakan, sebuah kota yang cukup maju di kaki Gunung Anak Ranaka. Manggarai semakin berani memperlihatkan kecantikan alamnya.
Berikut ini daftar tempat wisata di ruteng yang patut anda kunjungi:
1. Kampung tradisional Ruteng Pu’u terletak di Kelurahan Golo Dukal, merupakan desa tua dengan halaman bundar yang dikelilingi batu tersusun rapi dan di tengah kampung terdapat Compang (mezbah/altar) sebagai tempat peletakan persembahan saat upacara adat.
Mbaru gendang, rumah tempat tinggal setiap klen dan tempat menyimpan gong dan gendang terletak ditengah kampung. Dikelilingi pepohonan rindang (haju Ruteng) sehingga nenek moyang menamainya Beo Ruteng Pu’u. Tiga sumber air mengapitnya yakni, Wae Lideng, Wae Moro, dan Wae Namut.
Dulu nenek moyang orang Manggarai tinggal di dalam gua dan di bawah pohon-pohon besar. Setelah membuat rumah, mereka menamainya “Mbau ru (rumah sendiri) yang artinya rumah karya sendiri. Konon, Selama berlangsungnya pekerjaan menyusun batu mengelilingi halaman atau compang, diharapkan agar tidak boleh bersuara.
Apabila tengah berlangsung pekerjaan, tiba-tiba ada suara manusia / bunyi-bunyian lain, maka pekerjaan itu tidak dapat dilanjutkan. Setiap ada masalah harus disaksikan bersama-sama dan diselesaikan secara bersama-sama. Ruteng Pu’u merupakan sebuah tempat bermusyawarah dalam mengambil keputusan sambil berjemur dan menikmati panasnya matahari pagi.
Jarak Kampung Adat hanya 4 km dari pusat kota Ruteng dengan waktu tempuh 10 menit menggunakan motor atau mobil. Anda dapat menyewa ojek dengan harga terjangkau.
Disekitar Kampung hanya terdapat rumah penduduk, anda bisa menemukan rumah makan yang menyediakan masakan Cina, padang, maupun makanan prasmanan di pusat kota Ruteng.
Ruteng Pu’u tidak jauh dari kota Ruteng, anda dapat menginap di Kota Ruteng yang memiliki sarana Hotel dengan fasilitas bervariasi.
Kembali ke Ruteng Pu’u seperti menyaksikan Kota Ruteng di masa mudanya. Dimana anda bisa melihat keaslian rumah adat (Mbaru Niang) serta pesona budaya upacara adat dimana Compang yang merupakan inti dari upacara tradisional Penti yang dibuat untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas panen yang melimpah dengan mengorbankan kerbau dan sapi.
Mbaru gendang, rumah tempat tinggal setiap klen dan tempat menyimpan gong dan gendang terletak ditengah kampung. Dikelilingi pepohonan rindang (haju Ruteng) sehingga nenek moyang menamainya Beo Ruteng Pu’u. Tiga sumber air mengapitnya yakni, Wae Lideng, Wae Moro, dan Wae Namut.
Dulu nenek moyang orang Manggarai tinggal di dalam gua dan di bawah pohon-pohon besar. Setelah membuat rumah, mereka menamainya “Mbau ru (rumah sendiri) yang artinya rumah karya sendiri. Konon, Selama berlangsungnya pekerjaan menyusun batu mengelilingi halaman atau compang, diharapkan agar tidak boleh bersuara.
Apabila tengah berlangsung pekerjaan, tiba-tiba ada suara manusia / bunyi-bunyian lain, maka pekerjaan itu tidak dapat dilanjutkan. Setiap ada masalah harus disaksikan bersama-sama dan diselesaikan secara bersama-sama. Ruteng Pu’u merupakan sebuah tempat bermusyawarah dalam mengambil keputusan sambil berjemur dan menikmati panasnya matahari pagi.
Jarak Kampung Adat hanya 4 km dari pusat kota Ruteng dengan waktu tempuh 10 menit menggunakan motor atau mobil. Anda dapat menyewa ojek dengan harga terjangkau.
Disekitar Kampung hanya terdapat rumah penduduk, anda bisa menemukan rumah makan yang menyediakan masakan Cina, padang, maupun makanan prasmanan di pusat kota Ruteng.
Ruteng Pu’u tidak jauh dari kota Ruteng, anda dapat menginap di Kota Ruteng yang memiliki sarana Hotel dengan fasilitas bervariasi.
Kembali ke Ruteng Pu’u seperti menyaksikan Kota Ruteng di masa mudanya. Dimana anda bisa melihat keaslian rumah adat (Mbaru Niang) serta pesona budaya upacara adat dimana Compang yang merupakan inti dari upacara tradisional Penti yang dibuat untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas panen yang melimpah dengan mengorbankan kerbau dan sapi.
2. Air Terjun Cunca Lega atau lebih terkenal dengan sebutan Tengku Lese, merupakan air terjun dua tingkat dengan ketinggian kurang lebih 25 meter. Dikelilingi oleh hutan subur dan sawah yang terlihat dari kejauhan.
Air terjun Tengku Lese dapat dicapai dengan cara mendaki dari Desa Nanu, setelah itu berjalan selama sekitar 2.5 km dengan panorama yang indah, bukit-bukit hijau nan rimbun, susunan sawah bertingkat, dan petani membajak tanah dengan kerbau mereka. Sesampainya di kaki air terjun, anda akan dijamu dengan pemansangan air terjun dua tingkat hati seakan runtuh dari ketinggian 25m dengan suara guruh menderu serta sinar cahaya yang membiaskan pelangi kecil.
Melompat di atas batu-batu cokelat besar yang menyebar di sekitar dasar air terjun itu adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Disarankan untuk tidak melompat kedalam air terjun karena tetesan air sangat kasar. Jika ingin berendam, sedikit ke bawah anda akan menemukan kolam renang alam yang lebih kecil dan lebih tenang dan aman juga santai untuk berenang didalamnya.
Begitu banyaknya pemandangan indah sawah dan desa disepanjang jalan menuju air terjun Tengku Lese. Yang terdekat adalah Desa Tebo, anda akan mencicipi kopi dengan kualitas terbaik setelah lelah mendaki.
Dari Ruteng, dibutuhkan sekitar dua jam perjalanan untuk mencapai titik awal dari pendakian. Rute terpendek yang bisa dilalui adalah Liang Bua, 15 km dari Tengkulese. Pilihan terbaik untuk pergi ke sana dengan kendaraan pribadi (mobil atau sepeda motor) maupun rental. Jalan akses berakhir di Desa Nanu. Dari sana, Anda harus berjalan sekitar 2.5 km untuk sampai ke Tengku Lese.
Air terjun Tengku Lese dapat dicapai dengan cara mendaki dari Desa Nanu, setelah itu berjalan selama sekitar 2.5 km dengan panorama yang indah, bukit-bukit hijau nan rimbun, susunan sawah bertingkat, dan petani membajak tanah dengan kerbau mereka. Sesampainya di kaki air terjun, anda akan dijamu dengan pemansangan air terjun dua tingkat hati seakan runtuh dari ketinggian 25m dengan suara guruh menderu serta sinar cahaya yang membiaskan pelangi kecil.
Melompat di atas batu-batu cokelat besar yang menyebar di sekitar dasar air terjun itu adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Disarankan untuk tidak melompat kedalam air terjun karena tetesan air sangat kasar. Jika ingin berendam, sedikit ke bawah anda akan menemukan kolam renang alam yang lebih kecil dan lebih tenang dan aman juga santai untuk berenang didalamnya.
Begitu banyaknya pemandangan indah sawah dan desa disepanjang jalan menuju air terjun Tengku Lese. Yang terdekat adalah Desa Tebo, anda akan mencicipi kopi dengan kualitas terbaik setelah lelah mendaki.
Dari Ruteng, dibutuhkan sekitar dua jam perjalanan untuk mencapai titik awal dari pendakian. Rute terpendek yang bisa dilalui adalah Liang Bua, 15 km dari Tengkulese. Pilihan terbaik untuk pergi ke sana dengan kendaraan pribadi (mobil atau sepeda motor) maupun rental. Jalan akses berakhir di Desa Nanu. Dari sana, Anda harus berjalan sekitar 2.5 km untuk sampai ke Tengku Lese.
3. Liang Bua terletak di daerah perbukitan kapur memiliki potensi sumber daya arkeologi yang mengagumkan. Terbukti dengan adanya situs-situs arkeologi yang tersebar luar di daerah ini. Salah satunya adalah situs Liang Bua, sekitar 14 km di utara Kota Ruteng.
Situs Liang Bua sangat ideal untuk pemukiman masa prasejarah, memiliki ukuran panjang kurang lebih 50m, lebar 40m, dan tinggi atap bagian dalam 25m. Terletak sekitar 200 m dari pertemuan dua buah sungai besar yaitu Wae (sungai) Racang dan Wae Mulu. Kedua sungai ini mengandung temuan artefak batu dan batuan keras seperti tufa kersikan, kalsedon dan rijang (chert).
Liang Bua yang bermakna gua yang dingin ini menjadi istimewa karena ditemukan rangka manusia kerdil yang kemudian diberi nama Homo Floresiensis, di kedalaman 6 meter yang berasal dari sekitar 18.000 tahun yang lalu. Manusia kerdil ini berjenis kelamin perempuan berumur sekitar 30 tahun, tinggi sekitar 106 cm, volume otak sekitar 380 cc (bandingkan dengan otak manusia modern yang minimum memiliki volume otak 1200 cc). Secara keseluruhan lapisan yang mengandung temuan-temuan tersebut berumur antara 95.000 – 12.000 tahun yang lalu. Selain itu ditemukan juga artefak batu dan tulang-tulang binatang seperti stegodon (gajah purba), komodo, kura-kura, biawak, dan sebagainya.
Memasuki kawasan Situs Liang Bua membuat anda kembali ke zaman prasejarah, menyaksikan situs yang telah dihuni sejak masa prasejarah mulai dari paleolitik, mesolitik, neolitik, hingga masa paleometalik. Selain itu anda bisa menikmati pemandangan khas pedesaan sawah hijau menghampar.
Situs Liang Bua sangat ideal untuk pemukiman masa prasejarah, memiliki ukuran panjang kurang lebih 50m, lebar 40m, dan tinggi atap bagian dalam 25m. Terletak sekitar 200 m dari pertemuan dua buah sungai besar yaitu Wae (sungai) Racang dan Wae Mulu. Kedua sungai ini mengandung temuan artefak batu dan batuan keras seperti tufa kersikan, kalsedon dan rijang (chert).
Liang Bua yang bermakna gua yang dingin ini menjadi istimewa karena ditemukan rangka manusia kerdil yang kemudian diberi nama Homo Floresiensis, di kedalaman 6 meter yang berasal dari sekitar 18.000 tahun yang lalu. Manusia kerdil ini berjenis kelamin perempuan berumur sekitar 30 tahun, tinggi sekitar 106 cm, volume otak sekitar 380 cc (bandingkan dengan otak manusia modern yang minimum memiliki volume otak 1200 cc). Secara keseluruhan lapisan yang mengandung temuan-temuan tersebut berumur antara 95.000 – 12.000 tahun yang lalu. Selain itu ditemukan juga artefak batu dan tulang-tulang binatang seperti stegodon (gajah purba), komodo, kura-kura, biawak, dan sebagainya.
Memasuki kawasan Situs Liang Bua membuat anda kembali ke zaman prasejarah, menyaksikan situs yang telah dihuni sejak masa prasejarah mulai dari paleolitik, mesolitik, neolitik, hingga masa paleometalik. Selain itu anda bisa menikmati pemandangan khas pedesaan sawah hijau menghampar.
Dikutip dari: tourism.nttprov.go.id
Comments
Post a Comment